TERJEMAHAN

Minggu, 21 Juli 2013

MEMAHAMI MAKNA TARJIH DAN METODE PENERAPANNYA



M. Ali Affandi, M.Th.I*)

Berbicara tentang  tarjih di Muhammadiyah sama dengan kita membicarakan organ tubuh manusia  yang amat vital, yaitu jantung. Kenapa demikian, karena jantung berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh manusia. Demikian juga dengan tarjih, kedudukannya sangat vital, karena hasil keputusan tarjih Muhammadiyah merupakan manifestasi (amal maupun ibadah warga Muhamadiyah),  dan  sampai saat ini majelis tarjih merupakan satu-satunya majelis yang dianggap sangat urgen dan menentukan dalam organisasi Muhammadiyah. Secara historis, tarjih merupakan cikal-bakal berdirinya organisasi Muhammadiyah. Menurut Lukman Harun: “ Latar belakang berdirinya Muammadiyah diantaranya adalah karena kehidupan beragama tidak menurut tuntunan al-Qur’an dan hadith, disebabkan merajalelanya perbuatan shirik, bid’ah dan khurafat.”[1]  Persoalan agama yang muncul dan berkembang saat itu misalnya takhayyul, bid’ah dan khurafat atau yang disingkat dengan (TBC) menjadi salah satu alasan kuat mengapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai "Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah" adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat"
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep Tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul (ucapan) ulama mengenainya". Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama "Ijtihad".
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majelis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang dihadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya perpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majelis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355 (1936) hal 145:
" ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah: sebab-sebabnja banjak, diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an, perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah. Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan hadits."
Sebelum membicarakan tarjih di Muhammadiyah, terlebih dahulu saya akan menjelaskan apa makna tarjih dan bagaiamana cara menerapkan metode tarjih. Kata tarjih berasal dari bahasa arab rajjaha-yurajjihu-tarjihan, yang berarti menguatkan atau memberatkan (timbangan).[2] Sedangkan dalam pandangan ulama’ usul fiqh tarjih diartikan “usaha yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu”.[3] Sedangkan menurut ahli hadith, kata tarjih berarti “suatu upaya komparatif (perbandingan) untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadith-hadith yang tampak ikhtilaf (ada perselisihan)”.[4] Kata tarjih dalam manhaj tarjih Muhammadiyah lebih dominan dipergunakan dalam masalah-masalah hadith yang dianggap berbeda atau diperselisihkan, baik masalah sanad hadith maupun matn.
Sebenarnya metode tarjih merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadith-hadith mukhtalif (yang diperselisihkan) ketika jalan al-jam’u wa al-taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) dan al-nasakh(menghapus salah satu hadith) mengalami kegagalan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf tidak dapat diselesaikan maka hadith-hadith tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat diamalkan atau disebut tawaqquf. Metode tarjih dalam menyelesaikan hadith-hadith mukhtalif tidak bersifat opsional, yakni dapat dilakukan kapan saja bila ada hadith yang mukhtalif. Penerapan metode tarjih tanpa didahului oleh pendekatan al-jam’u wa al-taufiq mengundang konsekuensi yang besar. Karena dengan memilih atau menguatkan hadith tertentu akan berakibat ada hadith yang terabaikan, bahkan bisa jadi banyak hadith yang ditinggalkan. Sehingga tidak satupun ulama yang membolehkan melakukan kegiatan tarjih pada hadith mukhtalif sebelum lebih dahulu dilakukan pendekatan al-jam’u wa al-taufiq.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Ibn Daqiq al-‘Id mengatakan “tidak diragukan lagi bahwa metode al-jam’u (kompromi) harus lebih didahulukan daripada metode tarjih dan nasakh”.[5] Demikian juga al-Shaukany, beliau mengatakan” sudah cukup tegas bahwa kebolehan melakukan tarjih disyaratkan bila tidak memungkinkan dilakukan al-jam’u”.[6] Ketegasan ulama menyangkut kehati-hatian dalam menerapkan metode tarjih ini sesungguhnya memiliki latar belakang yang jelas. Bila kita menelusuri beberapa kitab sharah hadith, kita akan menemukan sebagian ahli atau peneliti hadith terlalu cepat melakukan langkah tarjih sebelum melakukan metode al-jam’u. Ketika tampak sedikit saja ikhtilaf, dengan cepat mereka melakukan komparasi sanad untuk menentukan sanad yang lebih sahih. Padahal banyak kasus, hadith yang ditarjih itu masih dapat diselaraskan atau dikompromikan.
Al-Baghdadi, berulang kali menegaskan bahwa selama dua hadith yang tampak ikhtilaf masih mungkin dikompromikan, maka keduanya wajib diamalkan. Para ulama dan orang yang akan mengamalkan hadith berkewajiban untuk menemukan cara bagaimana kedua hadith atau bahkan semua hadith dapat diamalkan.[7] Pendapat yang sama juga dikatakan oleh al-Shafi’i[8]  dan Yusuf al-Qardawi[9]. Mereka semua beralasan bahwa mentarjih itu berarti mengamalkan sebagian nas dan meninggalkan sebagian yang lain. Hadith-hadith yang sama-sama maqbul (sahih atau hasan) jika kelihatan ta’arudh atau ikhtilaf, tidak boleh dilakukan penguatan atau tarjih terhadap salah satu atau sebagiannya.
Nah, jika diperhatikan secara seksama kajian atau pembahasan ulama ahli hadith dan ushul, baik klasik maupun modern di atas, terlihat jelas bahwa persyaratan yang paling mendasar dalam tarjih adalah kenyataan bahwa kedua hadith mukhtalif tidak dapat lagi dikompromikan. Sementara sebagian penulis Indonesia terkesan mengabaikan syarat utama ini, termasuk sebagian hasil keputusan tarjih Muhammadiyah yang tertuang dalam Buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. 

(* Ketua Majlis Tarjih PC Muhammadiyah Sukodadi


[1]Roeslan Abdulgani dkk, Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1985), ix.
[2]Abi> al-Fad{l  Jama>l al-Di>n Muh{ammad Ibn Makram Ibn Mandhu>r al-Afri>qi> al-Misry,  Lisa>n al-‘Arab  Jil. II (Beirut: Da>r al-S{a>dir, 1990), 445.
[3]Abu Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawy, Kashf al-Asrar (Maktabah al-Shamilah, Juz 7), 316.
[4] Ibn al-Salah, ‘Ulum al-Hadith (Madinah: Maktabah Islamiyah, 1971), 257-258.
[5]Al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwadzi II (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 339.
[6] Al-Shaukany, Nail al-Autar (Beirut: Dar al-Jail, 1973), 419.
[7] Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah (Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), 153.
[8] Al-Shafi’i, al-Risalah (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), 342.
[9] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’ammal ma’as al-Sunnah al-Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Wafa, 1981), 113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar