M. Ali Affandi, M.Th.I*)
Berbicara tentang tarjih di Muhammadiyah sama dengan kita
membicarakan organ tubuh manusia yang
amat vital, yaitu jantung. Kenapa demikian, karena jantung berfungsi untuk
memompa darah ke seluruh tubuh manusia. Demikian juga dengan tarjih,
kedudukannya sangat vital, karena hasil keputusan tarjih Muhammadiyah merupakan
manifestasi (amal maupun ibadah warga Muhamadiyah), dan sampai
saat ini majelis tarjih merupakan satu-satunya majelis yang dianggap sangat
urgen dan menentukan dalam organisasi Muhammadiyah. Secara historis, tarjih
merupakan cikal-bakal berdirinya organisasi Muhammadiyah. Menurut Lukman Harun:
“ Latar belakang berdirinya Muammadiyah diantaranya adalah karena kehidupan
beragama tidak menurut tuntunan al-Qur’an dan hadith, disebabkan merajalelanya
perbuatan shirik, bid’ah dan khurafat.”[1]
Persoalan agama yang muncul dan
berkembang saat itu misalnya takhayyul, bid’ah dan khurafat
atau yang disingkat dengan (TBC) menjadi salah satu alasan kuat mengapa KH.
Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Tarjih dalam istilah persyarikatan,
sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai "Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah" adalah
membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang
mempunyai alasan yang lebih kuat"
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis
Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa
pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat.
Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan
yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak
selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep Tarjih Muhammadiyah
mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan
menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang
sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul (ucapan) ulama mengenainya". Usaha-usaha tersebut
dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama "Ijtihad".
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majelis Tarjih belum ada,
mengingat belum banyaknya masalah yang dihadapi oleh Persyarikatan. Namun
lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka
kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain
semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan
paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan
fiqh. Untuk mengantisipasi
meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya perpecahan antar
warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga
yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M, melalui
keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di
sebut Majelis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara
Muhammadiyah no.6/1355 (1936) hal 145:
" ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul
dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah: sebab-sebabnja banjak,
diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau
jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu
dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an, perintah Tuhan Allah dan kepada
Hadits, sunnah Rosulullah. Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan
perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka
perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari
segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah
manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan hadits."
Sebelum membicarakan tarjih di Muhammadiyah,
terlebih dahulu saya akan menjelaskan apa makna tarjih dan bagaiamana cara
menerapkan metode tarjih. Kata tarjih berasal dari bahasa arab rajjaha-yurajjihu-tarjihan,
yang berarti menguatkan atau memberatkan (timbangan).[2]
Sedangkan dalam pandangan ulama’ usul fiqh tarjih diartikan “usaha yang
dilakukan oleh seorang mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan
yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih
itu”.[3]
Sedangkan menurut ahli hadith, kata tarjih berarti “suatu upaya komparatif
(perbandingan) untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadith-hadith yang
tampak ikhtilaf (ada perselisihan)”.[4]
Kata tarjih dalam manhaj tarjih Muhammadiyah lebih dominan dipergunakan dalam
masalah-masalah hadith yang dianggap berbeda atau diperselisihkan, baik masalah
sanad hadith maupun matn.
Sebenarnya metode tarjih merupakan upaya
terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadith-hadith mukhtalif
(yang diperselisihkan) ketika jalan al-jam’u wa al-taufiq (mengumpulkan
dan mengkompromikan) dan al-nasakh(menghapus salah satu hadith)
mengalami kegagalan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf tidak dapat
diselesaikan maka hadith-hadith tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat
diamalkan atau disebut tawaqquf. Metode tarjih dalam menyelesaikan
hadith-hadith mukhtalif tidak bersifat opsional, yakni dapat dilakukan kapan
saja bila ada hadith yang mukhtalif. Penerapan metode tarjih tanpa didahului
oleh pendekatan al-jam’u wa al-taufiq mengundang konsekuensi yang besar. Karena
dengan memilih atau menguatkan hadith tertentu akan berakibat ada hadith yang
terabaikan, bahkan bisa jadi banyak hadith yang ditinggalkan. Sehingga tidak
satupun ulama yang membolehkan melakukan kegiatan tarjih pada hadith mukhtalif
sebelum lebih dahulu dilakukan pendekatan al-jam’u wa al-taufiq.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Ibn
Daqiq al-‘Id mengatakan “tidak diragukan lagi bahwa metode al-jam’u (kompromi)
harus lebih didahulukan daripada metode tarjih dan nasakh”.[5]
Demikian juga al-Shaukany, beliau mengatakan” sudah cukup tegas bahwa kebolehan
melakukan tarjih disyaratkan bila tidak memungkinkan dilakukan al-jam’u”.[6]
Ketegasan ulama menyangkut kehati-hatian dalam menerapkan metode tarjih ini sesungguhnya
memiliki latar belakang yang jelas. Bila kita menelusuri beberapa kitab sharah
hadith, kita akan menemukan sebagian ahli atau peneliti hadith terlalu cepat
melakukan langkah tarjih sebelum melakukan metode al-jam’u. Ketika tampak
sedikit saja ikhtilaf, dengan cepat mereka melakukan komparasi sanad untuk
menentukan sanad yang lebih sahih. Padahal banyak kasus, hadith yang ditarjih
itu masih dapat diselaraskan atau dikompromikan.
Al-Baghdadi, berulang kali menegaskan bahwa
selama dua hadith yang tampak ikhtilaf masih mungkin dikompromikan, maka
keduanya wajib diamalkan. Para ulama dan orang yang akan mengamalkan hadith
berkewajiban untuk menemukan cara bagaimana kedua hadith atau bahkan semua
hadith dapat diamalkan.[7]
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh al-Shafi’i[8] dan Yusuf al-Qardawi[9].
Mereka semua beralasan bahwa mentarjih itu berarti mengamalkan sebagian nas dan
meninggalkan sebagian yang lain. Hadith-hadith yang sama-sama maqbul (sahih
atau hasan) jika kelihatan ta’arudh atau ikhtilaf, tidak boleh dilakukan
penguatan atau tarjih terhadap salah satu atau sebagiannya.
Nah, jika diperhatikan secara seksama kajian
atau pembahasan ulama ahli hadith dan ushul, baik klasik maupun modern di atas,
terlihat jelas bahwa persyaratan yang paling mendasar dalam tarjih adalah
kenyataan bahwa kedua hadith mukhtalif tidak dapat lagi dikompromikan.
Sementara sebagian penulis Indonesia terkesan mengabaikan syarat utama ini,
termasuk sebagian hasil keputusan tarjih Muhammadiyah yang tertuang dalam Buku
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
(* Ketua Majlis Tarjih PC Muhammadiyah Sukodadi
[1]Roeslan Abdulgani dkk, Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta:Pustaka
Panjimas, 1985), ix.
[2]Abi> al-Fad{l Jama>l
al-Di>n Muh{ammad Ibn Makram Ibn Mandhu>r al-Afri>qi> al-Misry, Lisa>n al-‘Arab Jil. II (Beirut: Da>r
al-S{a>dir,
1990), 445.
[3]Abu Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawy, Kashf al-Asrar (Maktabah
al-Shamilah, Juz 7), 316.
[4] Ibn al-Salah, ‘Ulum al-Hadith (Madinah: Maktabah Islamiyah,
1971), 257-258.
[5]Al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwadzi II (Beirut: Dar al-Fikr,
1979), 339.
[6] Al-Shaukany, Nail al-Autar (Beirut: Dar al-Jail, 1973), 419.
[7] Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah (Madinah:
Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), 153.
[8] Al-Shafi’i, al-Risalah (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt),
342.
[9] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’ammal ma’as al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Beirut: Dar al-Wafa, 1981), 113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar