TERJEMAHAN
Minggu, 21 Juli 2013
MEMAHAMI MAKNA TARJIH DAN METODE PENERAPANNYA
M. Ali Affandi, M.Th.I*)
Berbicara tentang tarjih di Muhammadiyah sama dengan kita
membicarakan organ tubuh manusia yang
amat vital, yaitu jantung. Kenapa demikian, karena jantung berfungsi untuk
memompa darah ke seluruh tubuh manusia. Demikian juga dengan tarjih,
kedudukannya sangat vital, karena hasil keputusan tarjih Muhammadiyah merupakan
manifestasi (amal maupun ibadah warga Muhamadiyah), dan sampai
saat ini majelis tarjih merupakan satu-satunya majelis yang dianggap sangat
urgen dan menentukan dalam organisasi Muhammadiyah. Secara historis, tarjih
merupakan cikal-bakal berdirinya organisasi Muhammadiyah. Menurut Lukman Harun:
“ Latar belakang berdirinya Muammadiyah diantaranya adalah karena kehidupan
beragama tidak menurut tuntunan al-Qur’an dan hadith, disebabkan merajalelanya
perbuatan shirik, bid’ah dan khurafat.”[1]
Persoalan agama yang muncul dan
berkembang saat itu misalnya takhayyul, bid’ah dan khurafat
atau yang disingkat dengan (TBC) menjadi salah satu alasan kuat mengapa KH.
Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Tarjih dalam istilah persyarikatan,
sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai "Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah" adalah
membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang
mempunyai alasan yang lebih kuat"
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis
Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa
pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat.
Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan
yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak
selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep Tarjih Muhammadiyah
mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan
menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang
sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul (ucapan) ulama mengenainya". Usaha-usaha tersebut
dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama "Ijtihad".
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majelis Tarjih belum ada,
mengingat belum banyaknya masalah yang dihadapi oleh Persyarikatan. Namun
lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka
kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain
semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan
paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan
fiqh. Untuk mengantisipasi
meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya perpecahan antar
warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga
yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M, melalui
keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di
sebut Majelis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara
Muhammadiyah no.6/1355 (1936) hal 145:
" ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul
dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah: sebab-sebabnja banjak,
diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau
jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu
dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an, perintah Tuhan Allah dan kepada
Hadits, sunnah Rosulullah. Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan
perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka
perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari
segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah
manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan hadits."
Sebelum membicarakan tarjih di Muhammadiyah,
terlebih dahulu saya akan menjelaskan apa makna tarjih dan bagaiamana cara
menerapkan metode tarjih. Kata tarjih berasal dari bahasa arab rajjaha-yurajjihu-tarjihan,
yang berarti menguatkan atau memberatkan (timbangan).[2]
Sedangkan dalam pandangan ulama’ usul fiqh tarjih diartikan “usaha yang
dilakukan oleh seorang mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan
yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih
itu”.[3]
Sedangkan menurut ahli hadith, kata tarjih berarti “suatu upaya komparatif
(perbandingan) untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadith-hadith yang
tampak ikhtilaf (ada perselisihan)”.[4]
Kata tarjih dalam manhaj tarjih Muhammadiyah lebih dominan dipergunakan dalam
masalah-masalah hadith yang dianggap berbeda atau diperselisihkan, baik masalah
sanad hadith maupun matn.
Sebenarnya metode tarjih merupakan upaya
terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadith-hadith mukhtalif
(yang diperselisihkan) ketika jalan al-jam’u wa al-taufiq (mengumpulkan
dan mengkompromikan) dan al-nasakh(menghapus salah satu hadith)
mengalami kegagalan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf tidak dapat
diselesaikan maka hadith-hadith tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat
diamalkan atau disebut tawaqquf. Metode tarjih dalam menyelesaikan
hadith-hadith mukhtalif tidak bersifat opsional, yakni dapat dilakukan kapan
saja bila ada hadith yang mukhtalif. Penerapan metode tarjih tanpa didahului
oleh pendekatan al-jam’u wa al-taufiq mengundang konsekuensi yang besar. Karena
dengan memilih atau menguatkan hadith tertentu akan berakibat ada hadith yang
terabaikan, bahkan bisa jadi banyak hadith yang ditinggalkan. Sehingga tidak
satupun ulama yang membolehkan melakukan kegiatan tarjih pada hadith mukhtalif
sebelum lebih dahulu dilakukan pendekatan al-jam’u wa al-taufiq.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Ibn
Daqiq al-‘Id mengatakan “tidak diragukan lagi bahwa metode al-jam’u (kompromi)
harus lebih didahulukan daripada metode tarjih dan nasakh”.[5]
Demikian juga al-Shaukany, beliau mengatakan” sudah cukup tegas bahwa kebolehan
melakukan tarjih disyaratkan bila tidak memungkinkan dilakukan al-jam’u”.[6]
Ketegasan ulama menyangkut kehati-hatian dalam menerapkan metode tarjih ini sesungguhnya
memiliki latar belakang yang jelas. Bila kita menelusuri beberapa kitab sharah
hadith, kita akan menemukan sebagian ahli atau peneliti hadith terlalu cepat
melakukan langkah tarjih sebelum melakukan metode al-jam’u. Ketika tampak
sedikit saja ikhtilaf, dengan cepat mereka melakukan komparasi sanad untuk
menentukan sanad yang lebih sahih. Padahal banyak kasus, hadith yang ditarjih
itu masih dapat diselaraskan atau dikompromikan.
Al-Baghdadi, berulang kali menegaskan bahwa
selama dua hadith yang tampak ikhtilaf masih mungkin dikompromikan, maka
keduanya wajib diamalkan. Para ulama dan orang yang akan mengamalkan hadith
berkewajiban untuk menemukan cara bagaimana kedua hadith atau bahkan semua
hadith dapat diamalkan.[7]
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh al-Shafi’i[8] dan Yusuf al-Qardawi[9].
Mereka semua beralasan bahwa mentarjih itu berarti mengamalkan sebagian nas dan
meninggalkan sebagian yang lain. Hadith-hadith yang sama-sama maqbul (sahih
atau hasan) jika kelihatan ta’arudh atau ikhtilaf, tidak boleh dilakukan
penguatan atau tarjih terhadap salah satu atau sebagiannya.
Nah, jika diperhatikan secara seksama kajian
atau pembahasan ulama ahli hadith dan ushul, baik klasik maupun modern di atas,
terlihat jelas bahwa persyaratan yang paling mendasar dalam tarjih adalah
kenyataan bahwa kedua hadith mukhtalif tidak dapat lagi dikompromikan.
Sementara sebagian penulis Indonesia terkesan mengabaikan syarat utama ini,
termasuk sebagian hasil keputusan tarjih Muhammadiyah yang tertuang dalam Buku
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
(* Ketua Majlis Tarjih PC Muhammadiyah Sukodadi
[1]Roeslan Abdulgani dkk, Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta:Pustaka
Panjimas, 1985), ix.
[2]Abi> al-Fad{l Jama>l
al-Di>n Muh{ammad Ibn Makram Ibn Mandhu>r al-Afri>qi> al-Misry, Lisa>n al-‘Arab Jil. II (Beirut: Da>r
al-S{a>dir,
1990), 445.
[3]Abu Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawy, Kashf al-Asrar (Maktabah
al-Shamilah, Juz 7), 316.
[4] Ibn al-Salah, ‘Ulum al-Hadith (Madinah: Maktabah Islamiyah,
1971), 257-258.
[5]Al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwadzi II (Beirut: Dar al-Fikr,
1979), 339.
[6] Al-Shaukany, Nail al-Autar (Beirut: Dar al-Jail, 1973), 419.
[7] Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah (Madinah:
Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), 153.
[8] Al-Shafi’i, al-Risalah (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt),
342.
[9] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’ammal ma’as al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Beirut: Dar al-Wafa, 1981), 113.
Islam Berkemajuan
“Ahmad Dahlan adalah salah satu ulama
Islam yang berusaha mendekatkan antara rasionalitas dan pengamalan serta
pengalaman keberagamaan. Dengan kata lain Sang Pencerah tersebut berusaha
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai teman akrab bagi agama”
Awal kehadiran Muhammadiyah di
Nusantara memang digerakkan oleh sebuah tujuan besar yaitu menghadirkan
“masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dan keinginan kuat untuk mewujudkan
tujuan tersebut diawali dengan “gugatan”. Muhammadiyah menggugat realitas
keagamaan yang mandul pada masanya, menggugat realitas kebudayaan yang impoten
dan mengugat realitas sosial yang timpang. Saat Muhammadiyah menawarkan
narasinya sendiri mengenai sejarah kemanusiaan, dia melakukan gugatan terhadap
narasi-narasi lain disekitarnya. Di sinilah titik persimpangan mengenai
karakter gerakan Muhammadiyah: apakah Muhammadiyah merupakan gerakan puritan
dogmatik ataukah gerakan yang mendorong fresh ijtihadi di tengah-tengah umat?
Tapi kalau kita membaca beberapa
catatan sejarah mengenai manuver-manuver yang dilakukan Ahmad Dahlan beserta
para muridnya, kita bisa melihat citra yang santun, bahkan gugatan yang
dilakukan terhadap praktik keagamaan pada saat itu bukanlah tanpa disertai
dengan dialog yang mencerdaskan. Gugatan yang mendahulukan dialog mencerdaskan
inilah yang menurut hemat penulis merupakan karakter kritisisme dalam diri
Muhammadiyah. Tetapi hingga saat ini belum ada rumusan atau gagasan yang mencoba
mengulas bagaimana wajah kritisisme dalam diri Muhammadiyah, apa
prinsip-prinsip yang bisa menjadi penandanya. Berangkat dari situ, tulisan ini
bertujuan untuk mencoba merumuskan prinsip-prinsip kritisisme dalam
Muhammadiyah, terkhusus dalam ideologi Muhammadiyah yaitu Islam Berkemajuan.
Karakter “keterbukaan” Ideologi Muhammadiyah ditandai dengan penghormatan terhadap dinamisasi kemanusiaan dan kamajemukan. Tetapi karakter ideologi Muhammadiyah sebagai ideologi terbuka akan terasa kurang tajam jika kita tidak mengikutsertakan hasrat kritis sebagai salah satu penandanya. Hasrat kritis sudah nampak sejak awal kehadiran Muhammadiyah, dengan gugatan dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan.
Karakter “keterbukaan” Ideologi Muhammadiyah ditandai dengan penghormatan terhadap dinamisasi kemanusiaan dan kamajemukan. Tetapi karakter ideologi Muhammadiyah sebagai ideologi terbuka akan terasa kurang tajam jika kita tidak mengikutsertakan hasrat kritis sebagai salah satu penandanya. Hasrat kritis sudah nampak sejak awal kehadiran Muhammadiyah, dengan gugatan dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan.
Tetapi untuk mengulas karakter ataupun
prinsip kritisisme dalam Ideologi Muhammadiyah, penulis mencoba meminjam buah
pikiran dari beberapa orang pemikir. Yang pertama adalah Nashr Hamid Abu Zayd
dengan merujuk pada bukunya yang berjudul Naqd al-Khitab al-Dini. Yang kedua
adalah Sayyid Muhammad Assyahid dalam tulisannya yang berjudul Al-Turats bain
al-Taqlid wa al-Tajdid. Ketiga, Hassan Hanafi dalam karyanya at-Turats wa
at-Tajdid. Dan yang keempat seorang teoritisi sosial Ben Agger yang merujuk
pada bukunya yang berjudul Critical Social Theories: An Introduction.
Meskipun tradisi kritis-akademis saat ini berasal dan berkembang di tanah Eropa yang secara keseluruhan disebut dengan Cultural and Critical Theories, tetapi peminjaman dan proses dialog dengan the others (dalam hal ini “Barat”, jika kita melabeli Islam sebagai “Timur”; walaupun kategorisasi diametral antara “Barat” dan “Timur” menurut Edward Said adalah sesuatu yang politis) merupakan hal yang lumrah dalam tubuh gerakan-gerakan Islam Progresif, salah satunya Muhammadiyah. Hal itu sebagaimana dilansir oleh Prof. Amin Abdullah dengan mengutip pendapat Abdullah Saeed bahwa salah satu karakter pemikiran Muslim progresif adalah upaya untuk mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradsional dengan pemikiran dan pendidikan Barat.
Muhammadiyah dalam progresivitasnya
sebagai aktor sosial, berdialektika dengan dua hal pokok. Pertama, Muhammadiyah
berdialektika dengan al-turats atau teks-teks keagamaan yang menjadi inspirasi
dan legitimasi transendental bagi Muhammadiyah dalam melakukan aktivitas.
Kedua, Muhammadiyah berdialektika dengan realitas sosial yang merupakan medan
(field) di mana Muhammadiyah menjangkarkan eksistensinya dan berusaha
mengaktualisasikan, mengekspresikan, mendialogkan serta mengusahakan
tujuan-tujuannya. Ini barangkali paralel dengan konsep dalam Ushul Fiqh, yaitu
dialektika antara al-tsawabit (hal-hal yang dianggap tidak berubah) dan
al-mutaghayyirat (hal-hal yang dianggap berubah-ubah). Hal ini juga paralel
dengan konsep Aristoteles mengenai konsep helyomorphicnya yaitu perjumpaan
antara form dan matter atau dalam konsep antropologi dialektika antara General
Pattern dan Particular Pattern, atau lebih sederhananya dialektikan antara yang
qath’iy dan dzanniy.
Terlebih dahulu, kita coba membahas
bagian di mana Muhammadiyah berdialektika dengan al-turats. Dalam hal ini kita
mencoba meminjam pandangan Nashr Hamid Abu Zayd, Assyahid dan Hasan
Hanafi. Apakah yang dimaksud dengan al-turats? Al-turats secara umum
diartikan sebagai tradisi atau segala hal yang dihasilkan oleh
generasi-generasi sebelum kita, apakah dalam bentuk pemikiran maupun kebudayaan
secara umum, yang diwariskan secara turun-menurun dan dikembangkan oleh setiap
lapis generasi sesuai dengan kemampuan mereka. Tetapi untuk kepentingan
pembahasan kita kali ini, al-turats kita batasi sebagai segala bentuk pandangan
atau produk pemikiran keagamaan yang dianggap atau diklaim sebagai hasil dari
refleksi atas dua teks keagamaan mendasar yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Dalam dialektika dengan al-turats ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, al-turats adalah sesuatu yang tidak boleh disia-siakan oleh
Muhammadiyah, tetapi yang perlu dilakukan selanjutnya adalah melakukan
pengembangan-pengembangan dan aktivitas pengasahan kreatif terhadap al-turats.
Dalam proses pengembangan tersebut, Muhammadiyah memerlukan segala sarana yang
tersedia disekitarnya. Dalam hal ini merupakan sebuah keniscayaan Muhammadiyah
meminjam atau berdialog dengan kebudayaan-kebudayaan atau karya-karya pemikiran
lain yang bersinggungan dengannya. Tetapi Muhammadiyah harus tetap kritis
terhadap kebudayaan-kebudyaan tersebut dalam rangka pengembangan kreatif serta
pelampauan dan penyempurnaan segala bentuk kekurangan dalam al-turats. Yang
perlu menjadi penekanan di sini adalah bahwa yang saya maksud dengan pengembangan
kreatif adalah sesuatu yang menjadi oposisi terhadap pengulangan-pengulangan
terhadap al-turats.
Hal kedua yang penting diperhatikan
saat berdialektika dengan al-turats bahwa sebagai bentuk tanggung jawab
keagamaan dan kebudayaan, al-turats merupakan titik awal, sedangkan pembaruan
merupakan upaya menafasir secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan zaman.
Orisinalitas adalah landasan untuk kekinian, yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan. Al-turats adalah landasan awal untuk melakukan perubahan. Pembaruan
adalah pengembangan yang merupakan sumbangsih dalam memecahkan
persoalan-persoalan aktual dan mengantisipasi secara kreatif
persoalan-persoalan yang masih bersifat mungkin, membuka segala pintu
yang sebelumnya tertutup bagi pengembangan al-turats.
Nilai al-turats tidak hanya terletak secara intrinsik pada dirinya, tetapi juga bagaimana dia mampu menyediakan semacam bingkai berpikir ataupun landasan bagi pengembangan teori-teori ilmiah selanjutnya dalam menghadapi realitas. Al-turats bukanlah barang antik yang terpajang dalam museum sejarah yang selalu dielu-elukan, dibangga-banggakan dan selalu menatapnya dengan penuh kekaguman yang berlebihan. Al-turats merupakan landasan untuk berpacu, orientasi bergerak bagi Muhammadiyah, titik awal (legendum) untuk melakukan perubahan menuju tatanan yang lebih baik, yang oleh Muhammadiyah diberi nama “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
KH. Ahmad Dahlan adalah salah satu
ulama Islam yang berusaha mendekatkan antara rasionalitas dan pengamalan serta
pengalaman keberagamaan. Dengan kata lain Sang Pencerah tersebut berusaha
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai teman akrab bagi agama. Maka hal ketiga
yang perlu dilakukan atau ditekankan oleh Muhammadiyah dalam dialektikanya
dengan al-turats adalah membangun semacam kesadaran “kritis ilmiah” terhadap
al-turats. Walaupun al-turats merupakan awal berpijak kita, dan merupakan bahan
baku yang digunakan untuk bergulat dengan “kekinian” serta menatap masa depan,
tetapi agar al-turats tidak menjadi beku dan jumud maka sangat penting untuk
memperhatikan aspek historisitasnya secara kritis, dasar-dasar apa yang
membentuknya serta faktor-faktor apa saja yang menggerakkannya sehingga
memperoleh bentuk seperti apa yang sampai kepada kita sekarang ini. “Ilmu”
merupakan lawan terhadap kebanggaan-kebanggaan terhadap apa yang kita miliki
dimana kita yang menggunakannya kemungkinan besar tidak terkait secara intensif
dalam proses kreasinya.
Selain ketiga hal yang harus
diperhatikan dan ditekankan oleh Muhammadiyah di atas, ada beberapa hal yang
menurut penulis harus dihindari Muhammadiyah agar tidak terjatuh menjadi
gerakan Islam yang statis dan kehilangan predikat progresifitasnya. Pertama,
Muhammadiyah jangan sampai buta dalam membedakan antara agama dengan pemikiran
agama. Agama adalah sesuatu yang sudah final secara teks, tetapi pemikiran
agama merupakan sesuatu yang sah-sah saja diperiksa ulang, dikritik dan
bukanlah sesuatu yang final. Kedua, Muhammadiyah harusnya berasumsi bahwa
fenomena-fenomena keberagamaan, kemasayarakatan dan kebudayaan di sekitarnya
tidaklah disebabkan oleh sebab yang tunggal. Tetapi ada banyak sebab: kekuatan
sosial, kepentingan serta kuasa yang ikut andil dalam membentuknya. Hal ini
untuk menghindari reduksi berlebihan terhadap persoalan yang seringkali dilakukan
oleh beberapa gerakan Islam Transnasional. Ketiga, Muhammadiyah jangan sampai
melakukan mistifikasi terhadap tradisi salaf, menganggapnya sebagai teks-teks
primer yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan. Teks-teks yang
dihasilkan otoritas salaf setelah al-Qur’an dan Sunnah Rasul hanya merupakan
teks-teks sekunder, yang seringkali diposisikan oleh beberapa gerakan Islam
pada posisi yang setara bahkan lebih tinggi dibanding teks primer yang
sebenarnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini untuk menghindarkan
Muhammadiyah dari virus taqlid buta. Keempat, Muhammadiyah jangan sampai
memiliki keyakinan mental dan kepastian intelektual yang final. Muhammadiyah
harus tetap membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan, pernak-pernik pemikiran.
Orientasi Muhammadiyah adalah masa depan, masa kini dan masa lalu bukanlah
tujuan. Kelima, Muhammadiyah jangan terjatuh pada sikap romantisme masa lalu
yang gemilang. Misalnya menyamakan secara picik kondisi pada masa
Khulafa’urasyidin dengan saat ini, dan mengambil keputusan dengan terlalu cepat
bahwa solusi-solusi masa lalu bisa dicaplok begitu saja untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan kekinian. Harus disadari bahwa ada perubahan sejarah
dan gap setting ruang dan waktu yang jauh. Apa yang dilakukan para sahabat
merupakan inspirasi yang sangat penting untuk disarikan spiritnya, tetapi harus
disesuaikan secara kreatif dengan kekinian. Muhammadiyah jangan sampai
mengabaikan dimensi historisitas.
Selanjutnya penulis akan mencoba
mengulas beberapa prinsip saat Muhammadiyah berdialektika dengan realitas
sosial, baik realitas keberagamaan, realitas kebudayaan, ekonomi, dan politik.
Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, pengakuan akan kesatuan
organik antara pengetahuan dan aksi atau praksis, adanya relasi komplementer
antara teori dan praksis. Praksis membutuhkan teori sebagai usaha awal untuk
memetakan medan aksi bagi Muhammadiyah, untuk menjelaskan terma-terma kunci
bagi sebuah persoalan, menentukan prioritas-prioritas bagi pengambilan
keputusan. Sebaliknya pula pengetahuan, atau teori, berkembang seiring dengan
pengalaman eksistensial yang dihadapi Muhammadiyah saat bergulat dengan
realitas sosial. Ada aksi dan refleksi yang bergulir secara terus-menerus yang
seharusnya inheren dalam gerakan Muhammadiyah. Dalam bahasa yang lebih
sempurna: adanya persenyawaan antara ilmu dan amal dalam artian yang luas.
Setiap refleksi yang dilakukan Muhammadiyah terhadap realitas sosial, menuntut
tanggung jawab untuk mengubahnya menjadi tatanan yang lebih baik dan adil.
Kedua, pengetahuan bukanlah refleksi
semata terhadap realitas. Tetapi pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.
Prinsip ini sangat signifikan pada saat Muhammadiyah berhadapan dengan
wacana-wacana, diskursus-diskursus yang berkembang. Wacana tidaklah netral
begitu pula dengan diskursus-diskursus pengetahuan, tetapi sesuatu yang sangat
rentan akan intervensi kekuasaan. Hal ini juga membuat Muhammadiyah lebih arif
dalam menghadapi perbedaan pendapat mengenai sesuatu hal atau persoalan, sebab
setiap tawaran wacana atau pendapat atau pengetahuan akan sesuatu hal, tidak
ada yang merupakan refleksi transparan atau apa adanya akan realitas. Setiap
wacana atau pengetahuan merupakan usaha memandang sesuatu dari perspektif
tertentu.
Ketiga, optimisme terhadap masa depan
yang lebih baik dibanding masa kini dan masa lalu yang penuh dengan dominasi
dan ketidakadilan. Masa depan memiliki potensi-potensi kebaikan yang harus
diaktualisaikan melalui aksi-aksi politik dan sosial. Muhammadiyah harus menjadi
agen dan pendorong perubahan sosial demi merengkuh masa depan yang lebih baik.
Keempat, persoalan sosial bukanlah
persoalan individu an-sich, tetapi lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab
struktural. Artinya peranan institusi sosial yang besar semisal politik,
ekonomi, bahasa, ras serta gender memiliki andil politik yang lebih besar.
Muhammadiyah semestinya melakukan analisis secara kritis terhadap
struktur-struktur sosial tersebut agar bisa mengungkap akar rasional dan global
dari segala bentuk problem dan penindasan yang terjadi.
Kelima, struktur sosial yang dominatif
dipelihara atau dilanggengkan atau direproduksi melalui kesadaran palsu,
ideologi tertutup, al-turats yang jumud atau habitus tertentu. Struktur sosial
yang dominatif direproduksi melalui pengetahuan, wacana-wacana, teks-teks
ataupun diskursus-diskursus yang mengelilingi kita. Sehingga mereka yang
didominasi berpikir bahwa satu-satunya jalan adalah menyesuaikan diri dengan
struktur sosial yang ada. Muhammadiyah percaya terhadap subjektivitas manusia
dan potensi kreatifnya sebagai agen atau khalifah dalam mematahkan dominasi.
Keenam, perubahan sosial dimulai
dari hal-hal yang kecil, dari rumah, dari interaksi kita dengan pasangan,
dengan anak-anak, saudara-sudara, dari hal-hal sepele semisal selera belanja
kita, selera tontonan TV kita dan sebagainya. Hal ini untuk mendukung
voluntarisme secara kritis dan menghindari determinisme mekanis. Perubahan
sosial yang diawali dari hal-hal kecil menjadi signifikan sebab dominasi dan
hegemoni juga merasuk hingga ke hal-hal subtil semacam pembagian kerja, relasi
seksualitas, gaya hidup dan hal-hal remeh lainnya.
Ketujuh, adanya hubungan yang dialektis
antara agen dan struktur sosial. Walaupun struktur sosial dapat mengkondisikan
perilaku sosial kita, tetapi pengetahuan mengenai struktur sosial dapat menjadi
potensi kreatif dalam mematahkan dominasi.
Kedelapan, dengan mengakui hubungan
yang kompleks dan dialektis antara kehidupan sehari-hari dengan struktur sosial
skala besar, Muhammadiyah meyakini bahwa jalan untuk mencapai tujuan akhir
yakni “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” tidaklah linear dan merupakan
proses tiada henti. “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” merupakan utopia
yang dibangun oleh Muhammaiyah, dan setiap langkah yang dilakukan menuju utopia
tersebut akan direfleksikan ulang secara kritis agar lahir langkah yang lebih
baik dan efektif. Usaha menuju utopia juga tidak boleh sama sekali membuka
peluang sedikit pun yang mengorbankan hak-hak, kebebasan mendasar , fitrah
ataupun hidup manusia. Muhammadiyah harus meyakini bahwa setiap manusia adalah
khalifah, bertanggung jawab atas kebebasannya sendiri dan tidak melakukan
penindasan ataupun penaklukan bagaimanapun bentuknya terhadap sesama atas nama
tujuan, utopia atau kebebasan jangka panjang.
Kebebasan adalah kondisi optimal yang paling fitrah dimana manusia mampu mengaktualisasikan secara maksimal segala bentuk potensi kemanusiaannya menuju kemuliaan ilahiah. Muhammadiyah dalam menuntun umat dan menjadi tauladan bagi umat manusia, tidak membenarkan adanya kediktatoran elit terhadap orang banyak. Ini juga terlihat jelas dalam sejarah Muhammad SAW. dimana beliau tidak pernah menjadi Nabi dengan tangan besi.
Kebebasan adalah kondisi optimal yang paling fitrah dimana manusia mampu mengaktualisasikan secara maksimal segala bentuk potensi kemanusiaannya menuju kemuliaan ilahiah. Muhammadiyah dalam menuntun umat dan menjadi tauladan bagi umat manusia, tidak membenarkan adanya kediktatoran elit terhadap orang banyak. Ini juga terlihat jelas dalam sejarah Muhammad SAW. dimana beliau tidak pernah menjadi Nabi dengan tangan besi.
Prinsip-prinsip kritisisme ideologi
Muhammadiyah yang mempunyai dua aras di atas (aras pertama berhubungan secara
timbal balik dengan al-turats dan yang kedua dengan realitas sosial) akan
menjadi signifikan jika diturunkan menjadi metodologi gerakan. Metodologi
gerakan adalah jembatan yang menghubungkan prinsip-prinsip di atas dengan
realitas konkret.
Langganan:
Postingan (Atom)